THE PRINCESS OF MAKKAH IS
A KHADIJAH BINTI KHUWAILID رضي الله
عنها
Siapakah wanita pertama yang beriman di saat semua orang
mengingkari kerasulan Nabi Muhammad ﷺ?
Siapakah wanita yang sanggup mendermakan seluruh hartanya di saat
semua orang enggan memberinya?
Siapakah wanita yang mampu memberikan Rasulullah ﷺ
keturunan?
Siapakah wanita yang bijak meneguhkan hati seorang suami di saat
semua orang membencinya?
Semua jawaban ini terhimpun pada Khadijah binti Khuwailid.
Terangkat kemuliaannya sebagai murobbiyah paling terang daripada segenap
gugusan bintang. Kita akan mengenal sosok seorang wanita sholehah yang telah
menjadi wanita penghulu bidadari syurga dan pemimpin wanita dunia pada masanya.
A.
Profil
Keluarga Khadijah binti Khuwailid رضي الله
عنها
Beliau adalah putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin
Qushai bin Kilab Al-Qursyiyah Al-Asadiyah[1].
Khadijah lahir di Makkah tahun 68 sebelum Hijrah, 15 tahun sebelum tahun gajah
atau 15 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ.
Ia memiliki nasab yang suci, luhur dan mulia laksana untaian mutiara yang berkilauan.
Ayahnya, Khuwailid bin Asad, adalah
tokoh pembesar Quraisy yang terkenal hartawan dan dermawan. Khuwailid sangat
mencintai anggota keluarga dan kaumnya, menghormati tamu dan suka memberdayakan
serta membantu kaum miskin dan kaum ayah. Ia termasuk sahabat Abdul Muthallib,
datuk Nabi Muhammad ﷺ.
Ayah Siti Khadijah ini juga merupakan salah seorang delegasi Quraisy yang
diutus ke Yaman untuk memberi ucapan selamat kepada rajanya yang berbangsa Arab
yaitu Saif bin Dziyazin, atas keberhasilannya mengusir pasukan Abessinia dari
negerinya. Peristiwa ini terjadi dua tahun sesudah peristiwa penyerangan Makkah
pada tahun Gajah.
Ibunya bernama Fatimah binti Zaidah
bin Al-Ashom bin Al-haram bin Rawahah[2],
berasal dari kabilah Bani Asad dari suku Quraisy. Silsilah nasabnya berujung
pada Amir bin Lu’ai. Neneknya adalah Halah binti Abdul Manaf yang tersambung
sampai Lu’ai bin Ghalib. Masing-masing silsilah ayahanda dan ibundanya berasal
dari keturunan Quraisy yang terhormat dan mulia. Nasab Khadijah dari pihak
ayahanda bertemu dengan nasab Rasulullah ﷺ
pada kakeknya yang ke-empat, Qushai bin Kilab. Qushai bin Kilab adalah pemimpin
Quraisy yang berhasil merebut kekuasaan kota Makkah dari tangan kaum Khuza’ah pada
abad ke-5 M yang telah lama menguasai kota ini selama berabad-abad. Setelah
itu, Qushai menjadi pemimpin agama dan pemerintahan kota Makkah yang kemudian
diteruskan oleh keturunannya.
Nasab Khadijah dari pihak ibundanya
berhimpun dengan nasab Rasulullah ﷺ
pada kakeknya yang ke-tiga, Abdul Manaf. Dengan demikian, dari pihak ayah maupun
ibu, Khadijah dan Rasulullah ﷺ
memiliki kekerabatan yang sangat dekat. Dan Khdijah merupakan isteri Rasulullah
ﷺ yang paling dekat
nasabnya dengan beliau dibanding istri yang lain.
B.
Gelar Khadijah
pada massa jahiliyah
Khadijah biasa dipanggil dengan nama Ummu Hindun dan mendapat
gelaran Ath-Thahirah (wanita suci) atau Ummul Mukminin ( Ibu orang-orang
mukmin). Gelaran Ath-Thahirah diperoleh sebelum kedatangan Islam karena
kesucian budi pekertinya, kedudukannya yang mulia di tengah-tengah kaumnya, dan
kesucian dirinya dari noda-noda paganisme (kepercayan spiritual) pada zaman
jahiliyah. Menurut Az-Zubair bin Bakkar, sejak zaman
jahiliyyah, beliau dikalungkan gelaran Ath-Thahirah (wanita suci) oleh
masyarakat setempat. Ini disebabkan oleh sifatnya yang menyukai kebersihan dan
kesucian
Khadijah
juga diberi gelar Ummul Mukminin (ibu orang-orang mukmin) karena ia adalah
sebaik-baik isteri dan mempunyai suri tauladan yang baik bagi insan yang mau
mengikutinya. Ia telah menyediakan rumah yang nyaman dan tenteram untuk Nabi
Muhammad ﷺ sebelum baginda diutus sebagai seorang Rasul. Sayyidah Khadijah dikenal dengan julukan wanita suci sejak
perkawinannya dengan Abu Halah dan Atiq bin Aidz karena keutamaan ãkhlak dan
sifat terpujinya. Karena itu, tidak heran jika kalangan Quraisy memberikan
penghargaan dan berupa penghormatan yang tinggi kepadanya.
Kekayaan yang berlimpahlah yang menjadikan Khadijah tetap
berdagang. Akan tetapi, Khadijah merasa tidak mungkin jika sernua dilakukan
tanpa bantuan orang lain. Tidak mungkin jika dia harus terjun langsung dalam
berniaga dan bepergian membawa barang dagangan ke Yaman pada musim dingin dan
ke Syam pada musim panas. Kondisi itulah yang menyebabkan Khadijah mulai
mempekerjakan beberapa karyawan yang dapat menjaga amanah atas harta dan
dagangannya. Untuk itu, para karyawannya menerima upah dan bagian keuntungan
sesuai dengan kesepakatan. Walaupun pekerjaan itu cukup sulit, bermodalkan
kemampuan intelektual dan kecemerlangan pikiran yang didukung oleh pengetahuan
dasar tentang bisnis dan bekerja sama, Khadijah mampu menyeleksi orang-orang
yang dapat diajak berbisnis. Itulah yang mengantarkan Khadijah menuju
kesuksesan yang gemilang.
C.
Kehidupan Khadijah di Masa Jahiliyah
Pada tahun 575 Masehi,
Ibunda Khadijah meninggal dunia. Dan, sepuluh tahun kemudian ayahnya Khuwailid
menyusul Ibunya. Sepeninggal kedua orang tuanya, Khadijah dan
saudara-saudaranya mewarisi kekayaan kedua orang tuanya. Kekayaan
warisan menyimpan bahaya. Ia bisa menjadikan seseorang lebih senang tinggal di
rumah dan hidup berfoya-foya. Bahaya ini sangat disadari Khadijah. Ia pun
memutuskan untuk tidak menjadikan dirinya pengangguran. Kecerdasan dan kekuatan
sikap yang dimiliki Khadijah mampu mengatasi godaan harta. Karenanya, Khadijah
mengambil alih bisnis keluarga.
Beliau tumbuh dalam lingkungan
keluarga yang cerdas dan agung. Beliau juga dikenal sebagai seorang wanita yang
teguh dan cerdik dan memiliki perangai yang luhur. Karena itulah banyak
laki-laki dari kaumnya menaruh simpati kepadanya.
Pada awalnya, sebelum dikaruniakan
derajat Ummul Mukminin yang pertama, Khadijah telah menikah dengan Abu Halah
bin Zurarah At-Tamimi. Pernikahan itu membuahkan
dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun. Tak lama kemudian suamianya
meninggal dunia, dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan
perniagaan yang luas dan berkembang. Lalu Khadijah menikah lagi untuk yang
kedua kalinya dengan Atiq bin ‘A’id bin Abdullah Al-Makhzumi hingga
beberapa waktu lamanya namun akhirnya mereka cerai. Dengan demikian, saat itu
Khadijah menjadi wanita terkaya di kalangan bangsa Arab. Karenanya, banyak para
pemuka dan bangsawan bangsa Quraisy yang datang melamarnya dan ingin menjadikan
Khadijah sebagai pendamping hidup mereka.
Namun, Khadijah
menolak lamaran mereka dengan alasan bahwa beliau lebih memprioritaskan
perhatiannya hanya untuk mendidik putra-putrinya. Dan juga karena Khadijah merupakan
saudagar kaya raya dan disegani sehingga ia sangat sibuk mengurus perniagaan.
D.
Penugasan
Amanah Perniagaan
Kekayaan yang berlimpahlah yang menjadikan Khadijah tetap
berdagang. Akan tetapi, Khadijah merasa tidak mungkin jika sernua itu dilakukan
tanpa bantuan orang lain. Tidak mungkin jika dia harus terjun langsung dalam
berniaga dan bepergian membawa barang dagangan ke Yaman pada musim dingin dan
ke Syam pada musim panas. Kondisi itulah yang menyebabkan Khadijah mulai
mempekerjakan beberapa karyawan yang dapat menjaga amanah atas harta dan
dagangannya. Untuk itu, para karyawannya menerima upah dan bagian keuntungan
sesuai dengan kesepakatan. Walaupun pekerjaan itu cukup sulit, akan tetapi
dengan bermodalkan kemampuan intelektual dan kecemerlangan pikiran yang
didukung oleh pengetahuan dasar tentang bisnis dan bekerja sama, Khadijah mampu
menyeleksi orang-orang yang dapat diajak berbisnis. Itulah yang mengantarkan
Khadijah menuju kesuksesan yang gemilang. Khadijah memiliki seorang pegawai
yang dapat dipercaya dan dikenal dengan nama Maisarah. Dia dikenal sebagai
pemuda yang ikhlas dan berani, sehingga Khadijah pun berani melimpahkan
tanggung jawab untuk pengangkatan pegawai baru yang akan mengiring dan
menyiapkan kafilah, menentukan harga, dan memilih barang dagangan. Sebenarnya
itu adalah pekerjaan berat, namun penugasan kepada Maisarah tidaklah sia-sia
karena Maisarah adalah seorang pemuda yang jujur[3].
Disisi lain, Maisarah juga bekerja sama dengan seorang pemuda Makkah yang
sangat terkenal kewara’annya, ketakwaannya dan kejujurannya dikalangan kaum
Quraisy. Ia tidak lain adalah Muhammad Al-Amin. Pada awal masa remaja,
Rasulullah ﷺ tidak mempunyai
pekerjaan tetap. Hanya saja beberapa riwayat menyebutkan bahwa beliau biasa
menggembala kambing di kalangan Bani Sa’ad bin Bakar[4]
dan di Makkah dengan imbalan uang beberapa dinar[5].
Ketika berusia dua puluh lima tahun, beliau pergi berdagang ke
negeri Syam dengan modal yang diperoleh dari Khadijah radhiyallahu ‘anha. Ibnu
Ishaq berkata, “Khadijah binti Khuwailid adalah salah seorang wanita pedagang
yang memiliki banyak harta dan bernasab baik. Dia menyewa banyak kaum lelaki
untuk memperdagangkan hartanya dengan system bagi hasil. Kabilah Quraisy
dikenal sebagai pedagang yang handal. Maka tatkala sampai ketelinga Khadijah
tentang kejujuran bicara, amanah dan akhlak Rasulullah ﷺ
yang mulia, dia mengutus seseorang untuk menemuinya dan menawarkannya untuk
memperdagangkan harta miliknya ke negeri Syam. Dia menyerahkan kepada beliau
barang dagangan yang istimewa, yang tidak pernah dipercayakannya kepada
pedagang-pedagang yang lainnya. Akhirnya, Nabi Muhammad ﷺ
pergi berdagang bersama Maisarah sampai ke negeri Syam[6].
Perniagaan mereka ketika itu memberikan keuntungan yang sangat banyak sehingga
Maisarah kembali membawa keuntungan yang berlipat ganda. Maisarah mengatakan
bahwa keuntungan yang mereka peroleh itu berkat Muhammad yang berniaga dengan
penuh kejujuran. Maisarah menceritakan kejadian aneh selama melakukan
perjalanan ke Syam dengan Muhammad. Selama perjalanan, dia melihat gulungan
awan tebal yang senantiasa mengiringi Muhammad yang seolah-olah melindungi
beliau dari sengatan matahari. Dia pun mendengar seorang rahib yang bernama
Buhairah, yang mengatakan bahwa Muhammad adalah laki-laki yang akan menjadi Nabi
yang ditunggu-tunggu oleh bangsa Arab sebagaimana telah tertulis di dalam
Taurat dan Injil.
E.
Merealisasikan
Perasaan Cinta Khadijah
Pada suatu hari
yaitu sebelum Nabi Muhammad ﷺ mengambil upah dari hasil berdagangya ke negeri Syam. Pada
suatu malam, bintang-bintang tenggelam dan kegelapan menyeruak dimana-mana.
Khadijah duduk di rumahnya sesudah dia melakukan thawaf berkali-kali di Ka’bah.
Tak lama kemudian dia beranjak menuju ranjang untuk beristirahat. Tiada
kecemasan sedikit pun dalam benaknya pada waktu itu. Tidak lama sesudah
meletakkan tubuhnya di atas ranjang, dia tertidur sangat pulas. Dia tenggelam
dalam istirahat panjang yang menyenangkan. Pada malam itu, Khadijah telah
didatangi suatu mimpi yang agak aneh dan hal ini menyebabkan beliau segera
menemui sepupunya, pendeta atau rahib agama Hanif, Waraqah bin Naufal bin Assad
bin Abdul Uzza bin Qusyai Al-Qurashi.
Keesokan
harinya, pada pagi hari yang cerah, Khadijah Ah-Thahirah berangkat menuju rumah
saudara sepupunya. Khadijah ingin mendapatkan keterangan dari saudara sepupunya
itu tentang mimpi yang dia alami tadi malam. Khadijah menjumpai Waraqah dan
mendapati saudaranya sedang membaca salah satu lembaran kitab Samawi
yang sering kali menjadikan Waraqah lupa terhadap yang lain. Tak jarang Waraqah
menghabiskan waktunya setiap pagi dan petang untuk membaca lembaran demi
lembaran kitab suci itu. Telinga Waraqah nyaris tidak mendengar suara Khadijah
yang datang, sehingga dia terkejut ketika melihatnya dan berkata dengan penuh
keheranan, “Khadijah? Ath-Thahirah? Khadijah menjawab, “Ya, aku Khadijah”.
Dengan diiringi keheranan Waraqah bertanya lagi, “Apa yang menyebabkan engkau
datang sepagi ini?” Khadijah lalu duduk, kemudian dia pun mulai menceritakan
mimpinnya;
Khadijah
berkata, “Malam tadi aku bermimpi sangat menakjubkan. Aku melihat matahari yang
sangat besar berputar-putar di atas Kota Makkah, lalu turun ke arah bumi”. “Ternyata
matahari itu turun dan memasuki rumahku. Matahari itu menyinari seluruh penjuru
rumah dengan cahaya yang sangat indah. Cahaya itu juga menyinari wilayah
sekitar rumahku. Cahayanya yang sangat
agung itu membuatkanku takjub”. “Lalu aku pun
terbangun dari tidurku tersebut”.
Mendengarkan
mimpi tersebut, Waraqah lalu berkata, “Aku sampaikan berita gembira ini
kepadamu, bahwa akan ada seorang lelaki agung dan mulia akan datang untuk
menjadi teman hidupmu. “Dia memiliki kedudukan penting dan kemasyhuran yang
semakin hari semakin meningkat”. Waraqah mendengar tuturan Khadijah dengan
penuh perhatian. Saking perhatiannya, dia melupakan lembaran kitab suci yang
masih ia pegang dengan tangannya. Seolah-olah ada sesuatu yang membangkitkan
perasaannya. Sampai terbesit senyuman ridha pada wajahnya dan bertutur dengan
tenang kepada Khadijah, “ Wahai putri pamanku! Andaikata Allah membenarkan
mimpimu niscaya Dia akan memasukkan cahaya kenabian ke dalam rumahmu. Rumahmu
akan dipenuhi oleh cahaya sang penutup para Nabi”[7].
Khadijah merasa
gembira dengan hasil yang banyak tersebut karena usaha dari Muhammad Al-Amin,
akan tetapi ketakjubannya terhadap kepribadian Muhammad Al-Amin lebih besar dan
lebih mendalam dari semua itu. Maka mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang
berbaur dibenaknya yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Kian hari Khadijah merasa semakin mengagumi
sosok Muhammad AL-Amin. Selain kekaguman muncul juga perasaan –perasaan cinta
Khadijah kepada Muhammad Al-Amin. Khadijah merasa bahwa Muhammad Al-Amin adalah
pria yang sangat berbeda dengan pria-pria yang lainnya.
Akan tetapi, dia
merasa pesimis; mungkinkah pemuda tersebut mau menikahinya, mengingat umurnya
sudah mencapai 40 tahun? Apa nanti kata orang karena ia telah menutup pintu
bagi para pemuka Quraisy yang melamarnya?
Maka disaat dia
bingung dan gelisah karena problem yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba
muncullah seorang temannya yang bernama Nafisah binti Munabbihh, selanjutnya
dia ikut duduk dan berdialog hingga kecerdikan Nafisah mampu menyibak rahasia
yang disembuyikan oleh Khodijah tentang problem yang dihadapi dalam
kehidupannya. Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya
dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang memiliki martabat,
keturunan orang terhormat, memiliki harta dan berparas cantik. Terbukti dengan
banyaknya para pemuka Quraisy yang datang melamarnya. Selanjutnya, tatkala
Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia langsung menemui Muhammad Al-Amin
hingga terjadilah dialog yang menunjukan kelihaian dan kecerdikannya:
Nafisah : Apakah yang menghalangimu untuk menikah
wahai Muhammad?
Muhammad : Aku tidak memiliki
apa-apa untuk menikah .
Nafisah : (Dengan tersenyum berkata) Jika aku
pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya raya, cantik dan berkecukupan, maka apakah
kamu mau menerimanya?
Muhammad : Siapa dia ?
Nafisah :
(Dengan cepat dia menjawab) Dia adalah Khadijah binti Khuwailid
Muhammad : Jika dia setuju maka
akupun setuju.
Nafisah pun
pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, sedangkan
Muhammad Al-Amin memberitahukan kepada paman-paman beliau tentang keinginannya
untuk menikahi sayyidah Khadijah. Kemudian berangkatlah Abu Tholib, Hamzah dan
yang lainnya menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamar
Khadijah bagi putra saudaranya, dan selanjutnya menyerahkan mahar[8].
Maka pernikahan pun berlangsung setelah itu dan akad tersebut dihadiri oleh
bani Hasyim dan para pemimpin Mudhar.
Hal ini terjadi
dua bulan sepulang beliau dari Syam. Maskawin beliau adalah 20 ekor unta muda.[9].
Setelah usai
akad nikah, disembelihlah beberapa ekor hewan kemudian dibagikan kepada
orang-orang fakir. Khadijah membuka pintu bagi keluarga dan handai taulan dan
diantara mereka terdapat Halimah As-Sa’diyah yang datang untuk menyaksikan
pernikahan anak susuannya. Setelah itu dia kembali ke kampungnya dengan membawa
40 ekor kambing sebagai hadiah perkawinan yang mulia dari Khadijah, karena
dahulu dia telah menyusui Muhammad Al-Amin yang sekarang telah menjadi suaminya
tercinta.
Maka jadilah sayyidah
Quraisy sebagai istri dari Muhammad Al-Amin dan jadilah dirinya sebagai contoh
yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai suami dan mengutamakan
kepentingan suami dari pada kepentingannya sendiri[10].
Usia Khadijah
binti Khuwailid sendiri adalah empat puluh tahun, yang pada masa itu Khadijah
merupakan wanita yang paling terpandang, cantik, pandai, dan kaya. Dia adalah
wanita pertama yang dinikahi Rasulullah ﷺ. Beliau tidak pernah menikahi wanita lain hingga Khadijah
meninggal dunia[11].
F.
Bukti
Cinta Khadijah Kepada Sang Kekasih
Khadijah
adalah wanita terindah yang dihadiahkan oleh Allah kepada Muhammad Al-Amin.
Sehingga Nabi Muahammad begitu merasa nyaman dan tenteram berada di sisi
Khadijah. Itu semua karena betapa besar cinta dan kasih sayang yang
diberikannya kepada suaminya yang tercinta. Bukti cinta yang paling mengesankan
adalah ketika Khadijah menjatuhkan pilihannya kepada Nabi Muhammad sebagai
suaminya. Padahal, saat itu Nabi Muhammad adalah seorang laki-laki miskin,
sedangkan dirinya adalah wanita kaya yang didambakan oleh tokoh-tokoh kaya
Quraisy. Namun, Khadijah menolak mereka semua[12].
Bahkan, Khadijah tak pernah merasa kecewa sedikitpun dengan sikap Nabi Muhammad
yang menyukai khalwat, bahkan tiada aktifitas yang lebih beliau sukai daripada
menyendiri. Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun inilah beliau lebih senang
mengasingkan diri. Itu semua beliau lakukan setelah melalui perenungan lama dan
telah terjadi jurang pemisah antara pemikiran beliau dan kaumnya. Dengan
membawa roti dari gandum dan air, beliau pergi ke Gua Hira’ di Jabal Nur, yang
jaraknya kira-kira 2 mil dari kota Makkah, suatu gua yang tidak terlalu besar,
yang panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran zira’ Al-Hadid
(hasta ukuran besi)[13].
Keluarga
beliau kadang-kadang menyertai ke sana. Selama bulan Ramadhan beliau berada di
gua ini, dan tidak lupa memberikan makanan kepada setiap orang miskin yang juga
datang ke sana. Beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah, memikirkan
keagungan alam di sekitarnya dan kekuatan tidak terhingga di balik alam. Beliau
tidak pernah merasa puas melihat keyakinan ummatnya yang penuh dengan
kemusyrikan dan segala persepsi mereka yang tidak pernah lepas dari takhayul.
Sementara itu, di hadapan beliau juga tidak ada jalan yang jelas dan mempunyai
batasan-batasan tertentu, yang bisa menghantarkan kepada keridhaaan dan
kepuasan hati beliau[14]. Pilihan beliau untuk mengasingkan diri ini
termasuk satu sisi dari ketentuan Allah Ta’ala atas diri beliau, sebagai
langkah persiapan unutk menerima urusan besar yang sedang di tunggunya. Allah
Ta’ala telah mengatur pengasingan ini selama 3 tahun bagi Rasulullah ﷺ sebelum membebaninya dengan risalah.
Akan
tetapi, sayyidah Ath-Thahirah tidak merasa tertekan dengan tindakan Nabi Muhammad
yang terkadang harus berpisah jauh darinya, tidak pula beliau mengusir
kegalauannya dengan banyak pertanyaan maupun mengobrol yang tidak berguna,
bahkan beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk membantu suaminya dengan
cara menjaga dan menyelesaikan tugas yang harus dia kerjakan di rumah. Apabila
beliau pergi ke gua kedua mata beliau senantiasa mengikuti suaminya terkasih
dari jauh. Bahkan beliau juga menyuruh orang-orang untuk menjaga beliau tanpa
mengganggu suaminya yang sedang menyendiri.
Rasulullah
ﷺ tinggal di dalam
gua tersebut hingga batas waktu yang Allah kehendaki, kemudian datanglah Jibril
dengan membawa kemuliaan dari Allah Ta’ala sedangkan beliau di dalam gua
Hira’ pada bulan Ramadhan, yaitu hari Senin, tanggal 21 malam bulan
Ramadhan dan bertepatan dengan tanggal 10 Agustus tahun 610 M. Tepatnya usia
beliau saat itu 40 tahun 6 bulan 12 hari menurut penanggalan qamariyah dan
sekitar 39 tahun 3 bulan 20 hari; ini menurut penanggalan syamsiyah.
Wahyu
yang pertama dialami oleh Rasulullah ﷺ adalah berupa ru’ya shalihah (mimpi yang benar) dalam
tidur dan mimpi itu hanya berbentuk fajar shubuh yang menyingsing, kemudian
beliau lebih menyenangi penyendirian dan melakukannya di Gua Hira; beribadah di
dalamnya beberapa malam sebelum dia kembali ke rumah keluarganya. Dalam
melakukan itu, beliau mengambil bekal
dan kemudian kembali ke Khadijah mengambil perbekalan yang sama hingga datang
kebenaran kepadanya; yaitu saat beliau berada di Gua Hira’ tersebut, seorang
malaikat datang menghampiri sembari berkata, ‘Bacalah!’ Aku (Rasulullah ﷺ) menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca!’ Beliau menuturkan,
‘Kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga, lalu
setelah itu melepaskanku sembari berkata, ‘Bacalah!’ Aku tetap menjawab, ‘Aku
tidak bisa membaca!’
Dia
memegangiku hingga aku merasa sesak. Kemudian melepaskanku, seraya berkata
lagi, ‘Bacalah!’ Aku menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca’.
Dia
memegangiku dan merangkulku hingga ketiga kalinya hingga aku merasa sesak.
Kemudian melepaskanku, lalu berkata:
اقْرَأْ بِاسْمِ
رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ -١- خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ -٢- اقْرَأْ وَرَبُّكَ
الْأَكْرَمُ -٣(العلق:١-٣)
Selanjutnya, Rasulullah ﷺ pulang dalam kegelapan fajar dengan
merekam bacaan tersebut dalam kondisi takut, khawatir dan hati yang bergetar
seraya menggigil, dan menemui Khadijah binti Khuwailid sembari berucap, زَمِّلُوْنِي
زَمِّلُوْنِي.... دَثِّرُوْنِي دَثِّرُوْنِي
“Selimutilah aku…….selimutilah
aku…..”[15]
Maka beliau diselimuti hingga badan
beliau tidak lagi menggigil layaknya terkena demam. Apa yang terjadi padaku?
Beliau berkata pada Khadijah. Lalu Khadijah memberitahukan apa yang baru saja
terjadi. Beliau bersabda, “Aku khawatir terhadap keadaan diriku sendiri”.
Apa peran Khadijah pada saat yang
menegangkan itu? Apa yang seharusnya dia lakukan saat menghadapi suaminya yang
sedang terpukul oleh kejadian luar biasa yang dialaminya? Bagaimanakah cara
Khadijah meringankan beban suami yang tercinta? Bagaimana dia berdiri di
samping suami untuk menenangkan dan menentramkannya?
Sungguh, Khadijah melakukan tindakan
yang tepat. Dia adalah wanita tauladan yang luar biasa, ia tetap berdiri kokoh
meneguhkan jiwa suaminya, membantunya dan meneguhkannya. Lihatlah bagimana
Khadijah telah mencontohkan kepada para wanita sepanjang zaman mengenai hal
itu, bagaimana seharusnya seorang istri mendampingi suami pada saat suami
begitu terpukul oleh musibah, atau tertimpa kesulitan, atau tertimpa kesedihan,
atau terbebani sesuatu yang dibenci.
Dengan jiwa yang tegar Khadijah berucap kepada
suaminya yang tercinta, “Tidak demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu
selamanya, karena engkau suka menyambung tali persaudaraan, membantu
meringankan bebanorang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu, dan
menolong orang yang menegakkan kebenaran”. Mendengar
ucapan tersebut, maka menjadi tentramlah hati Nabi Muhammad ﷺ berkat dukungan ini, dan kembalilah ketenangan beliau karena pembenaran
dari istrinya dan keimanannya terhadap apa yang beliau bawa.
Jawaban
Khadijah bukanlah sekedar untuk membesarkan hati Nabi Muhammad ﷺ, tetapi merupakan pengungkapan fakta yang sesungguhnya. Nabi
Muhammad sejak kecil telah menginvestasikan kebaikan di tengah-tengah
masyarakat. Sebuah fakta perlu medapatkan pengakuan dari orang lain agar
menjadi nilai universal yang didukung oleh masyarakat luas. Rasulullah ﷺ bukan tidak yakin bahwa apa yang
dilakukannya adalah semata-mata atas bimbingan wahyu. Tapi beliau ingin tahu
apakah dakwahnya diterima masyarakat.
Sebagai
istri, Khadijah telah mengambil sikap yang cerdas, yaitu memberikan dukungan
total terhadap dakwah sang suami. Bagaimana jika Khadijah memberikan pernyataan
yang tidak menenangkan jiwa? Tentu saja Nabi Muhammad ﷺ akan merasa sedih. Karena
bagaimanapun, seorang Rasul adalah manusia biasa yang juga membutuhkan dukungan
dari orang-orang terdekat yang dicintainya. Dan, Khadijah telah memberikan
andil terbesar dalam membangun dakwah Rasulullah ﷺ.
Selanjutnya, Khadijah binti
Khuwailid membawa beliau pergi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul
Uzza, anak paman Khadijah. Waraqah adalah seorang Nashrani semasa jahiliyyah.
Dia menulis buku dalam bahasa Ibrani dan juga menulis Injil dalam bahasa Ibrani
seperti yang di kehendaki oleh Allah. Dia sudah tua dan buta.
Khadijah binti Khuwailid berkata
kepada Waraqah, “Wahai putra pamanku, dengarkanlah kisah dari anak saudaramu
(Rasulullah). Waraqah berkata kepada beliau, “Apa yang pernah engkau lihat,
wahai putri saudaraku? Rasulullah ﷺ mengabarkan
apa saja yang pernah dilihatnya.
Akhirnya Waraqah berkata, “Quddus….quddus….demi
yang jiwa Waraqah ada di tangan-Nya, jika apa yang engkau ceritakan kepadaku
itu benar, maka sungguh telah datang kepadanya Namus Al-Kubra yang telah
diturunkan Allah Ta’ala sebagaimana yang telah datang kepada Musa dan Isa, dan
Nuh secara langsung.
Tatkala
melihat kedatangan Nabi Muhammad sekonyong konyong Waraqah berkata: “Demi yang
jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya engkau adalah Nabi bagi umat ini,
pastilah mereka akan mendustakanmu, menyakiti dirimu, mengusir dirimu dan akan
memerangi dirimu, seandainya aku masih menemui hari itu sungguh aku akan
menolong dien Allah.” Kemudian ia mendekat kepada Nabi Muhammad dan mencium
ubun-ubunnya. Maka Nabi Muhammad bersabda, “Benarkah mereka akan mengusirku?”
Waraqah menjawab, “Benar, tidak seorangpun yang membawa sebagaimana yang engkau
bawa melainkan pasti ada yang menentangnya. Kalau saja aku masih mendapatkan
masa itu….kalau saja aku masih hidup…: tidak beberapa lama kemudian Waraqah
wafat. Waraqah pun meninggal pada saat-saat tururn wahyu.
Menjadi
tenanglah jiwa Nabi tatkala mendengar penuturan Waraqah,dan beliau mengetahui
bahwa akan ada kendala-kendala disaat permulaan berdakwah, banyak rintangan dan
beban. Beliau juga menyadari bahwa itu adalah sunnatullah bagi para Nabi dan orang
-orang yang mendakwahkan dien Allah. Maka beliau menapaki jalan dakwah dengan
ikhlas semata-mata karena Allah Rabbul Alamin, dan beliau mendapatkan banyak
gangguan dan intimidasi dari kaumnya.
G.
Buah
Hati Khadijah bersama Nabi Muhammad
Allah memberikan
karunia pada rumah tangga tersebut berupa kebahagiaan dan nikmat yang melimpah,
dan mengaruniakan kepada keduanya putra-putri yang juga tegar seperti Ibunya.
Setelah
menikah dengan baginda Rasulullah ﷺ, beliau dikurniakan enam orang anak. Padahal, saat menikah
dengan Rasulullah ﷺ, usia Khadijah sudah menginjak 40 tahun. Berarti ke-enam orang
anaknya hasil pernikahannya dengan baginda lahir setelah ia berusia 40 tahun.
Sungguh luar biasa anugerah dan kehendak Yang Maha Kuasa.
Khadijah
melahirkan 2 orang putra dan 4 orang putri. Anak pertama sekaligus putra
pertama Rasulullah ﷺ bernama Qasim. Dengan nama ini, Rasulullah ﷺ mendapat julukan Abu Qasim. Putra kedua beliau bernama
Abdullah, biasa dipanggil Ath-Thahir dan Ath-Thayyib karena dilahirkan setelah
kedatangan Islam. Kedua putra ini meninggal dunia ketika masih bayi.
Anak
ketiga bernama Zainab, putri sulung yang lahir sebelum Nabi Muhammad ﷺ diutus oleh Allah sebagai Rasul. Zainab sangat menyerupai
Ibunya. Zainab menikah dengan Abu Al-’Ash dan berhijrah memeluk Islam lebih
awal daripada suaminya Abu Al-’Ash. Zainab meninggal dunia pada awal tahun
ke-delapan sesudah memeluk Islam dan dimakamkan di Baqi’.
Anak
ke-empat dan ke-lima adalah Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Kedua putri beliau ini
dinikahi oleh kedua anak Abu Lahab, Atabah dan Utaibah. Tatkala Abu Lahab
mengetahui kedua anaknya menikahi putri Rasulullah, Abu Lahab jadi marah seraya
berkata :
Aku
tidak akan berkumpul dengan kalian bila kalian tidak menceraikan kedua anak
Muhammad itu”. Maka keduanya menceraikan istri masing-masing sebelum sempat
menggaulinya. Setelah itu, Ruqayyah menikah dengan Utsman bin Affan. Ia ikut
berhijrah ke kota Madinah bersama suaminya. Ia meninggal di Madinah dan
dimakamkan di Baqi.’ Sepeninggalan Ruqayyah, Utsman menikah lagi dengan Ummu
Kultsum. Namun, tidak lama kemudian, Ummu Kultsum juga kembali ke rahmatullah.
Karena menikah dengan kedua putri baginda Nabi ﷺ, Utsman dijuluki dengan Dzun Nurain (pemilik dua cahaya)
Anak
yang ke-enam adalah Fatimah Az-Zahrah. Menikah dengan seorang sahabat yang
terkenal dan disegani yaitu Ali bin Abi Thalib. Ia adalah Ibunda Hassan dan
Husein. Fatimah telah menghembuskan nafas terakhir pada tahun 11 H dalam usia
30 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Baqi.’
Dengan
yang demikian, putra-putri Rasulullah ﷺ lahir dari rahim Khadijah, kecuali
Ibrahim yang lahir dari rahim Maria Al-Qibthiyah, seorang budak perempun yang
diterima oleh Rasulullah ﷺ sebagai hadiah dari Muqaiqis, raja
Mesir.
H.
Kepekaan
Khadijah Membaca Perasaan Sang Suami
Khadijah
adalah seorang istri yang sangat perhatian dengan kondisi suaminya dan ia juga
begitu perhatian tentang kesukaan Nabi Muhammad ﷺ.
Bahkan, ketika Rasulullah ﷺ
menampakkan rasa senangnya pada Zaid bin Haritsah, seorang hamba
miliknya, beliau segera menghibahkan hamba itu kepada suaminya. Zaid diangkat
sebagai orang yang sangat dekat di sisi Rasulullah dengan menjadi anak angkat
baginda sendiri. Turut tercatat, Zaid memperoleh kemuliaan sebagai salah seorang
dari shaf pertama yang mengimani dakwah Rasulullah ﷺ.
Zaid bin
Haritsah juga sering disebut dengan putra Muhammad. Semula, Zaid dibeli oleh
Khadijah dari pasar Makkah yang kemudian dijadikan budaknya. Ketika Khadijah
menikah dengan Muhammad, Khadijah memberikan Zaid kepada Muhammad sebagai
hadiah. Rasulullah ﷺ
sangat mencintai Zaid karena dia memiliki sifat-sifat yang terpuji. Zaid pun
sangat mencintai Rasulullah ﷺ.
Akan tetapi di tempat lain, ayah kandung Zaid selalu mencari anaknya dan
akhirnya dia mendapat kabar bahwa Zaid berada di tempat Muhammad dan Khadijah.
Dia mendatangi Rasulullah ﷺ
untuk memohon agar beliau mengembalikan Zaid kepadanya walaupun dia
harus membayar mahal. Rasulullah ﷺ
memberikan kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih antara tetáp
tinggal bersamanya dan ikut bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama
Rasulullah ﷺ, sehingga dari sinilah
kita dapat mengetahui sifat mulia Zaid.
Agar pada
kemudian hari nanti tidak menjadi masalah yang akan memberatkan ayahnya, Rasulullah
ﷺ dan Zaid bin
Haritsah menuju halaman Ka’bah untuk mengumumkan kebebasan Zaid dan
pengangkatan Zaid sebagai anak. Setelah itu, ayahnya merelakan anaknya dan
merasa tenang. Dari situlah mengapa banyak yang menjuluki Zaid dengan sebutan
Zaid bin Muhammad. Akan tetapi, hukum pengangkatan anak itu gugur setelah turun
ayat yang membatalkannya, karena hal itu merupakan adat jahiliyah, sebagaimana
firman Allah berikut ini:
” … jika kamu
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu … ” (QS. At-Taubah:5)
I.
Peran Dakwah
Khadijah di Awal Masa Islam
Khadijah meyakini seruan suaminya dan menganut
agarna yang dibawanya sebelum diumumkan kepada rnasyarakat. Itulah langkah awal
Khadijah dalam menyertai suaminya berjihad di jalan Allah Ta’ala dan turut
menanggung pahit getirnya gangguan dalam menyebarkan agama Allah. . Bahkan, saat suaminya menerima wahyu yang kedua
berisi perintah untuk mulai berjuang mendakwahkan agama Allah dan mengajak pada
tauhid, ia adalah wanita pertama yang percaya bahwa suaminya adalah utusan
Allah T’ala dan kemudian menyatakan keislamannya tanpa ragu-ragu dan bimbang
sedikit pun juga. Beberapa
waktu kemudian Jibril kembali mendatangi Nabi Muhammad ﷺ untuk membawa wahyu kedua dari Allah Ta’ala:
“Hai orang yang berkemul (berselimut),
bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah dan pakaianmu
bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan
janganlab kamu memberi (dengan maksud) memperoleb (balasan) yang lebih banyak.
Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (QS. Al-Muddatstir:1-7)
Ayat di atas merupakan perintah bagi Rasulullah ﷺ untuk mulai berdakwah
kepada kalangan kerabat dekat dan Ahlulbait beliau. Sehingga
sejak saat itu, Rasulullah yang mulia memulai lembaran hidup baru yang penuh
barakah dan bersusah payah. Beliau katakan kepada sang istri yang beriman bahwa
massa untuk tidur dan bersenang-senang sudah habis. Khadijah radhiallâhu
‘anha turut mendakwahkan Islam disamping suaminya. Khadijah
adalah orang pertama yang memantapkan beriman pada risalah Nabi Muhammad ﷺ dan menyatakan kesediaannya
menjadi pembela setia Nabi Muhammad ﷺ. Kemudian menyusul Ali bin Abi
Thalib, anak paman Rasulullah ﷺ yang sejak kecil diasuh dalam rumah tangga beliau. Ali bin Abi
Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, kemudian
Zaid bin Haritsah, hamba sahaya Rasulullah ﷺ yang ketika itu dijuluki Zaid bin Muhammad. Dari kalangan
laki-laki dewasa, mulailah Abu Bakar masuk Islam, diikuti Utsman bin Affan,
Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, az-Zubair ibnu Awam, Thalhah bin
Ubaidilah, dan sahabat-sahabat lainnya.
Mereka
masuk menyatakan Islam secara sembunyi-sembunyi sehingga harus melaksanakan
shalat di pinggiran kota Mekah. Pada tahun inilah dinamakan tahap pertama dalam
periode Makkah yaitu tahapan dakwah secara sembunyi-sembunyi, yang berjalan
selama tiga tahun. Khadijah termasuk salah satu nikmat yang
Allah Ta‘ala anugerahkan pada Rasulullah ﷺ. Khadijah mendampingi beliau selama seperempat
abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau pada saat-saat yang
kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam
menjalankan jihad yang berat, juga rela menyerahkan diri dan hartanya pada
beliau.
J.
Masa Berdakwah Khadijah Terang-Terangan
Setelah berdakwah secara sembunyi- sembunyi,
turunlah perintah Allah kepada Rasulullah ﷺ untuk memulai dakwah secara
terang-terangan. Karena itu, datanglah beliau ke tengah-tengah umat seraya
berseru lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar… Tiada Tuhan selain Allah, tiada
sekutu bagi-Nya, Dia tidak melahirkan, juga tidak dilahirkan.” Seruan beliau
sangat aneh terdengar di telinga orang-orang Quraisy. Rasulullah Muhammad ﷺ memanggil manusia untuk
beribadah kepada Tuhan yang satu, bukan Laata, Uzza, Hubal, Manat, serta
tuhan-tuhan lain yang mernenuhi pelataran Ka’bah. Tentu saja mereka menolak,
mencaci maki, bahkan tidak segan-segan menyiksa Rasulullah ﷺ. Setiap jalan yang beliau
lalui ditaburi kotoran hewan dan duri.
Khadijah tampil mendampingi Rasulullah ﷺ dengan penuh kasih sayang,
cinta, dan kelembutan. Wajahnya senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya
meluncur kata-kata jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah ﷺ lontarkan atas perlakuan
orang-orang Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian
untuk kemudian dia memotivasi dan rnenguatkan hati Nabi Muhammad ﷺ. Bersama Rasulullah ﷺ, Khadijah turut menanggung
kesulitan dan kesedihan, sehingga tidak jarang dia harus mengendapkan perasaan
agar tidak terekspresikan pada muka dan mengganggu perasaan suaminya. Yang
keluar adalah tutur kata yang lemah lembut sebagai penyejuk dan penawar hati.
Orang yang paling keras menyakiti Rasulullah ﷺ adalah paman beliau
sendiri, Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu
Lahab, beserta istrinya, Ummu Jamil. Mereka memerintah anak-anaknya untuk
memutuskan pertunangan dengan kedua putri Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kultsum.
Walaupun begitu, Allah Ta’ala telah menyediakan pengganti yang lebih mulia,
yaitu Utsman bin Affan bagi Ruqayah. Allah Ta’ala telah mengutuk Abu Lahab
lewat firman-Nya :
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan
apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan
(begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dan
sabut. “ (QS. Al-Lahab:1-5)
Khadijah adalah tempat berlindung bagi
Rasulullah ﷺ. Dari Khadijah, beliau
memperoleh keteduhan hati dan keceriaan wajah istrinya yang senantiasa menambah
semangat dan kesabaran untuk terus berjuang menyebarluaskan agama Allah Ta’ala ke
seluruh penjuru. Khadijah pun tidak memperhitungkan harta bendanya yang habis
digunakan dalam perjuangan ini. Sementara itu, Abu Thalib, parnan Rasulullah ﷺ, menjadi benteng pertahanan
beliau dan menjaga beliau dari siksaan orang-orang Quraisy, sebab Abu Thalib
adalah figur yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh kaum Quraisy.
K.
Ketangguhan Khadijah Menghadapi Masa
Pemboikotan Orang Quraisy
Setelah berbagai upaya gagal dilakukan untuk
menghentikan dakwah Rasulullah ﷺ, baik itu berupa rayuan, intimidasi,
dan penyiksaan. Kaum Quraisy memutuskan untuk memboikot dan mengepung kaum
muslimin dan menulis deklarasi yang kemudian digantung di pintu Ka’bah agar orang-orang
Quraisy memboikot kaum muslimin, termasuk Rasulullah ﷺ, istrinya, dan juga pamannya. Mereka
terisolasi di pinggiran kota Makkah dan diboikot oleh kaum Quraisy dalam bentuk
embargo atas transportasi, komunikasi, dan keperluan sehari-hari lainnya.
Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah ﷺ dan istrinya dapat
bertahan, walaupun kondisi fisiknya sudah tua dan lemah. Ketika itu kehidupan
Khadijah sangat jauh dari kehidupan sebelumnya yang bergelimang dengan
kekayaan, kemakmuran, dan ketinggian derajat. Khadijah rela didera rasa haus
dan lapar dalam mendampingi Rasulullah ﷺ dan kaum muslimin. Dia sangat yakin
bahwa tidak lama lagi pertolongan Allah Ta’ala akan datang. Keluarga mereka
yang lain, sekali-kali dan secara sembunyi-sembunyi, mengirimkan makanan dan
minuman untuk mempertahankan hidup. Pemboikotan itu berlangsung selama tiga
tahun, tetapi tidak sedikit pun menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang mereka
rasakan adalah bertambah kokohnya keimanan dalam hati. Dengan demikian, usaha
kaum Quraisy telah gagal, sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan membiarkan
kaum muslimin kembali ke Makkah. Rasulullah ﷺ pun kembali menyeru nama Allah Yang
Mulia dan melanjutkan jihad beliau. Sungguh, Khadijah telah mencurahkan segala
kemampuannya untuk menghadapi ujian tersebut di saat berumur 65 tahun.
L.
Wafatnya Khadijah
Beberapa hari setelah pemboikotan, Abu Thalib
jatuh sakit, dan semua orang meyakini bahwa sakit kali ini merupakan akhir dari
hidupnva. Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufyan dan Abu Jahal membujuk Abu
Thalib untuk menasehati Nabi Muhammad ﷺ agar menghentikan dakwahnya, dan
sebagai gantinya adalah harta dan pangkat. Akan tetapi, Abu Thalib tidak
bersedia, dan dia mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ tidak akan bersedia menukar dakwahnya dengan pangkat dan
harta sepenuh dunia.
Abu Thalib meninggal pada tahun itu pula, maka
tahun itu disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah
ﷺ. Sebaliknya, orang-orang
Quraisy sangat gembira atas kematian Abu Thalib itu, karena mereka akan lebih
leluasa mengintimidasi Rasulullah ﷺ dan para pengikutnya. Pada saat kritis menjelang kematian
pamannya, Rasulullah ﷺ membisikkan sesuatu, Secepat ini aku kehilangan engkau?
Pada tahun yang sama, sayyidah Khadijah sakit
keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan kehausan karena pemboikotan
tersebut. Semakin hari, kondisi badannya semakin menurun, sehingga Rasulullah ﷺ semakin sedih. Bersama Khadijahlah, Rasulullah ﷺ membangun kehidupan rumah
tangga yang bahagia. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia enam puluh
lima tahun, Khadijah meninggalkan dunia yang fana ini, menyusul Abu Thalib.
Khadijah dikuburkan di dataran tinggi kota Makkah, yang dikenal dengan sebutan
Al-Hajun. Rasulullah ﷺ sendiri yang mengurus jenazah istrinya, dan kalimat
terakhir yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah: “Sebaik-baik
wanita penghuni syurga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.”
Khadijah meninggal dunia setelah mendapatkan kemuliaan
yang tidak pernah dimiliki oleh wanita
lain, Dia adalah Ummul Mukminin istri Rasulullah ﷺ yang pertama, wanita pertama yang
mernpercayai risalah Rasulullah ﷺ, dan wanita pertama yang melahirkan
putra-putri Rasulullah ﷺ. Dia merelakan harta benda
yang dimilikinya untuk kepentingan jihad di jalan Allah. Dialah orang pertama
yang mendapat kabar gembira bahwa dirinya adalah ahli surga. Kenangan terhadap
Khadijah senantiasa melekat di dalam hati Rasulullah ﷺ sampai beliau wafat. Dengan wafatnya
Khadijah maka meningkatlah musibah yang Rasulullah ﷺ hadapi. Karena bagi Rasulullah ﷺ, Khadijah adalah teman
yang tulus dalam memperjuangkan Islam. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai
sayyidah Khadijah binti Khuwailid dan semoga Allah memberinya tempat yang layak
di sisi-Nya. Amin.
M.
Keistimewaan dan Keutamaan Khadijah:
Keistimewaan dan keutamaan wanita suci ini sungguh tidak terbilang.
Perjalanan hidupnya bertabur kemuliaan yang tidak terbatas. Keperibadian dan
perilakunya yang lurus benar-benar sesuai dengan sifat orang-orang mukmin.
Terdapat banyak hadits dan informasi dari data sejarah Islam yang menerangkan
berbagai keutamaan wanita suci nan mulia ini. Diantaranya adalah seperti
berikut :
a.
Iman,
agama dan kedalaman pemahamannya
Pada masa
Jahiliyah, Khadijah tidak seperti wanita Quraisy pada umumya. Ia begitu
istimewa karena memiliki kehormatan, kedudukan yang tinggi, keimanan sejati,
berjiwa besar dan perilaku yang suci sehingga memperoleh gelaran sebagai Ath-Thahirah
atau wanita suci. Ia adalah wanita yang dekat dengan sumber-sumber keimanan. Di
dalam jiwanya, ia banyak merasakan kegelisahan terhadap fenomena paganisme
jahiliyah. Oleh karena itu, tidak jarang ia mencurahkan kegelisahannya kepada
Waraqah bin Naufal.
Sebelum
berpijaknya Islam, Khadijah menganut agama hanif (agama yang dibawa oleh Nabi
Ibrahim ‘alaihis salam) yang berpegang kepada manhaj tauhid. Keimanannya
sama sekali tidak pernah tercemar dengan lumpur ataupun noda-noda paganisme
jahiliyah yang masih tersebar. Demikianlah potret dan kualitas keimanan wanita
terbaik penghuni syurga ini sebelum kedatangan Islam.
Setelah Khadijah
dipilih oleh Allah Ta’ala menjadi pendamping hidup Nabi Muhammad ﷺ, ia menjadi wanita yang pertama memeluk Islam, percaya dan beriman
kepada Allah Ta’ala serta Rasulullah ﷺ.
b.
Tentang
keimanan Khadijah
“Allah tidak
pernah memberiku pengganti yang lebih baik dari Khadijah. Ia telah beriman
kepadaku ketika orang lain kufur, dia mempercayaiku ketika orang-orang
mendustaiku. Ia memberikan hartanya kepadaku ketika tidak ada orang lain yang
membantuku. Dan, Allah Ta’ala juga menganugerahkan aku anak-anak melalui rahimnya,
sementara isteri-isteriku yang lain tidak memberikan aku anak.” (Hadits Riwayat
Bukhari, Ahmad dan Thabrani).
Keimanan
Khadijah lahir dari ketajaman pandangan, keyakinan, kepercayaan dan penyucian
yang ditempuh untuk keimanan tersebut.
Sebagai bukti,
pada saat Rasulullah ﷺ masih berada di puncak bukit, dalam
perjalanan yang penuh ketakutan, Jibril masih menampakkan dirinya antara langit
dan bumi. Nabi Muhammad ﷺ tidak berpaling sedikit pun hingga
menelitinya dengan jelas. Kemudian Nabi Muhammad ﷺ pulang ke rumah menemui Khadijah
dalam keadaan gementar kerana merasakan ketakutan.
Nabi Muhammad
pulang dengan tubuh menggigil ketakutan. Apabila melihat Rasulullah ﷺ dalam kedaan yang sedemikian, Khadijah tetap saja menyambut
kepulangan suami tercinta dengan manisnya senyuman dan menyembunyikan raut
kebimbangannya yang mulai bersarang. Khadijah berusaha menenangkan hati
suaminya itu dan menguatkan pendirian baginda Rasulullah ﷺ. Ia mengatakan kepada Rasulullah ﷺ :
”Tidak suamiku,
demi Allah… Allah itu tidak akan mungkin sekali pun merendahkan dirimu. Kerana
engkau selalu menyambung silaturrahmi, memikul beban, menghormti orang tamu,
membantu orang miskin dan engkau selalu menolong siapa sahaja. Bergembiralah
engkau wahai putra bapak saudaraku, dan teguhkanlah hatimu. Demi Tuhan, yang
diriku atas kekuasaan-Nya, Sesungguhnya aku sangat berharap engkau akan menjadi
Nabi bagi umat ini.”
Begitulah
Khadijah dengan lemah lembut dan santunnya keperibadian isteri sholehah, dialah
suri teladan. Dengan suara yang rendah dia berusaha menenangkan hati sekaligus
coba menguatkan pendirian Nabi Muhammad ﷺ kala itu. Khadijah juga selalu menghibur baginda dan Rasulullah
ﷺ tidak pernah
melihat sesuatu yang menyedihkan dari Khadijah, tidak pernah membantah dan
mendustai Rasulullah ﷺ.
Bahkan Khadijah
selalu melapangkan hati dan menghilangkan kesedihan Rasulullah ﷺ. Hal seperti ini sudah jelas muncul dari keimanan yang dalam,
pemikiran yang cermat serta pemahamam yang baik terhadap hakikat suatu
permasalahan. Menurut pemahaman Khadijah, suaminya memiliki semua sifat-sifat
terpuji, maka Allah Ta’ala tidak akan mungkin merendahkan Nabi Muhammad ﷺ.
c.
Wanita
sholehah
Khadijah
merupakah salah satu wanita terbaik di dunia. Hal ini telah jelas dengan merujuk
kepada sebuah hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah ﷺ pernah bersabda :
“Cukuplah bagimu
empat wanita terbaik di dunia, yaitu Maryam binti Imran, Khadijah Binti
Khuwailid, Fathimah binti Muhammad dan Asiah, isteri Fir’aun.” (Hadits Riwayat
Ahmad, Abdurrazaq, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim)
Ia adalah wanita
terbaik dari golongan Islam sebagaimana Maryam binti Imran yang menjadi wanita
terbaik dari golongan Nasrani. Hal ini shahih berdasarkan Hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa :
“Wanita terbaik
dari golongan itu adalah Maryam binti Imran dan wanita terbaik dari golongan
ini adalah Khadijah binti Khuwailid.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Selain itu,
Khadijah juga termasuk salah satu di antara empat wanita terbaik penghuni
syurga. Ibnu Abbas berkata, bahwa suatu ketika Rasulullah ﷺ menggambar empat garis di atas
tanah, lalu beliau bertanya :
Tahukah kalian
apa ini?”
Para sahabat
mejawab, ”Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Rasulullah ﷺ lalu bersabda :
“Sebaik-baik
wanita yang menghuni syurga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti
Muhammad, Maryam binti Imran dan Asiah isteri Fir’aun”.
Semua ahli hadits sepakat mengatakan bahwa ke-empat-empat wanita yang disebutkan diatas adalah wanita-wanita paling utama dan paling mulia di seluruh semesta alam. Namun ada yang berselisihan pendapat dalam menentukan siapakah diantara mereka yang paling utama dan paling mulia. Tatkala Nabi Muhammad ﷺ mengalami rintangan dan gangguan dari kaum lelaki Quraisy, maka disampingnya berdiri dua orang wanita. Kedua wanita itu berdiri di belakang dakwah Islamiyah, mendukung dan bekerja keras mengabdi kepada pemimpinnya, Nabi Muhammad ﷺ: Khadijah binti Khuwailid dan Fathimah binti Asad. Oleh karena itu, Khadijah berhak menjadi wanita terbaik di dunia. Bagaimana tidak, Khadijah adalah Ummul Mukminin, sebaik-baik istri dan tauladan yang baik bagi mereka yang mengikuti tauladannya.
Khadijah
menyiapkan sebuah rumah yang nyaman bagi Nabi Muhammad ﷺ
sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan membantunya ketika merenung di Gua
Hira’. Khadijah adalah sebaik-baik wanita yang menolongnya dengan jiwa, harta
dan keluarga.
d.
Wanita
yang mendapat salam dari Allah Ta’ala dan berita gembira
Berdasarkan
Hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Khadijah binti Khuwailid adalah wanita yang mendapat
salam dari Allah Ta’ala dan berita gembira dengan sebuah rumah yang terbuat
dari kayu di syurga, yang didalamnya tidak ada kepayahan dan kesusahan. Seperti
sabda Rasulullah ﷺ:
Ketika Jibril datang
kepada Rasulullah ﷺ, ia berkata :
“Wahai
Rasulullah, ini adalah Khadijah, ia datang dengan membawa sebuah bejana dan
wadah yang berisikan lauk-makanan serta minuman. Maka, jika ia telah sampai
kepadamu, sampaikanlah kepadanya salam dari Tuhannya dan dari-ku, dan
beritahukanlah kepadanya sebuah kabar gembira berupa sebuah rumah di dalam
syurga yang terbuat dari kayu yang didalamnya menyenangkan, dan tidak ada
kepayahan serta kesusahan.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Anas Bin Malik
berkata :
Suatu ketika
Jibril datang menemui Rasulullah ﷺ yang pada saat itu
beliau sedang bersama Khadijah. Maka Jibril pun berkata :
”Sesungguhnya
Allah menyampaikan salam kepada Khadijah.”
Maka Khadijah
menyahut :
”Sesungguhnya
Allah itulah As-Salam. Salam (sejahtera) pula atas Jibril dan atasmu pula salam
dari Allah beserta rahmat dan berkah-Nya.” (Hadits Riwayat Nasai dan Hakim)
e.
Wanita
yang mengundang kecemburuan para istri Nabi yang lainnya
Sebagai seorang isteri, beliau
merupakan pendorong utama bagi Rasulullah ﷺ
untuk selalu giat berdakwah, bersemangat dan tidak kenal menyerah.
Beliau juga selalu berusaha meringankan beban berat di bahu Rasulullah ﷺ.
Kebijakan, kesetiaan dan banyak lagi kebaikan Khadijah tidak pernah lepas dari
ingatan baginda Rasulullah ﷺ.
Beliau benar-benar seorang isteri yang mendapat tempat tersendiri di dalam hati
Nabi Allah ini. Betapa kasihnya baginda terhadap Khadijah sebagaimana di
buktikan dari penceritaan Sayidatina ‘Aisyah radhiallahu anha. “Belum pernah aku cemburu terhadap
isteri-isteri Rasulullah ﷺ sebagaimana cemburunya
aku kepada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya. Tetapi Rasulullah ﷺ selalu menyebut-nyebut namanya, bahkan
adakalanya menyembelih kambing dan diberikannya kepada sahabat-sahabat
Khadijah. Bahkan pernah aku berkata, “Bukankah Khadijah itu seorang wanita tua?
Bukankah Allah Ta’ala sudah memberikan kepadamu pengganti, isteri yang lebih
muda dan baik daripadanya?”. Lalu Rasulullah ﷺ menyebut, “Tidak! Demi Allah !Dia Subhanahu wa
Ta’ala tidak memberikan seorang pengganti yang lebih baik daripadanya. Dia
(Khadijah) telah beriman kepadaku pada saat orang-orang mengingkariku. Dia
membenarkan ajaran yang aku bawa di saat orang-orang mendustakanku.
Khadijah membantuku dengan menginfakkan segenap hartanya ketika
orang-orang menahan hartanya dariku dan Allah mengurniakanku beberapa orang
zuriat dari rahimnya yang tidak diberikan oleh isteri-isteri yang lain” . [HR. Ahmad,
Al-Isti’ab karya Ibnu Abdil Ba’ar].
Diriwayatkan
dari Abdullah Al-Bahi, dia berkata: Aisyah berkata, “Jika Rasulullah ﷺ bercerita tentang Khadijah, beliau tidak pernah bosan memujinya
dan memintakan ampunan untuknya. Pada suatu hari, beliau bercerita tentang
Khadijah hingga aku dibuatnya cemburu, aku berkata, ‘Allah telah memberikan
pengganti orang tua itu dengan yang lebih muda’. Seketika itu beliau terlihat
marah besar, hingga menusuk hatiku, sampai-sampai aku berkata dalam hatiku, ‘Ya
Allah, seandainya Engkau dapat mengenyahkan kemarahan Rasulullah ﷺ terhadapku maka aku tidak akan membuat diri beliau tersinggung
lagi’. Ketika Nabi Muhammad ﷺ mengetahui perkataanku, beliau bersabda, ‘Apa katamu? Dia
selalu percaya kepadaku ketika semua orang tidak mempercayai diriku, dia
menerimaku ketika semua orang menolakku, dan dia memberiku anak sedangkan
kalian tidak’. Setelah itu Rasulullah ﷺ pergi dan menghindari diriku selama
satu bulan.”
Salah satu bukti
kisah cinta Nabi kepada Khadijah, sehingga membuat Aisyah sangat cemburu
terhadap Khadijah;
Suatu hari,
seorang nenek datang menemui Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ lalu bertanya, “Siapakah Anda wahai nenek?”
“Aku adalah
Jutsamah Al-Muzaniah, ” jawab wanita tua itu.
Rasulullah ﷺ pun berkata, “Wahai nenek,
sesungguhnya saya mengenalmu. Engkau adalah wanita yang baik hati. Bagaimana
kabarmu dan keluargamu? Bagaimana pula keadaanmu sekarang setelah kita berpisah
sekian lama?”
Nenek itu
menjawab, “Alhamdulillah kami dalam keadaan baik. Terima kasih wahai,
Rasulullah”.
Tak lama
kemudian, wanita tua itu pergi meninggalkan Rasulullah ﷺ. Aisyah radhiyallahu ‘anha yang melihat kejadian itu
datang kepada Rasulullah ﷺ seraya berkata, “Wahai Rasulullah,
seperti inikah engkau menyambut dan memuliakan seorang wanita tua? Istimewa
sekali.”
Rasulullah
menimpali, “Ya, dahulu nenek itu selalu mengunjungi kami ketika Khadijah masih
hidup. Sesungguhnya melestarikan persahabatan adalah bagian dari iman.”
Setelah kejadian
itu, Aisyah mengatakan, “Tak seorang pun dari istri-istri Nabi yang aku
cemburui lebih dalam ketimbang Khadijah. Meskipun aku belum pernah melihatnya,
namun Rasulullah ﷺ seringkali menyebutnya. Pernah
suatu kali beliau menyembelih kambing lalu memotong-motong dagingnya dan
membagikannya kepada sahabat-sahabat karib Khadijah.”
Jika hal
tersebut disampaikan Aisyah, Rasulullah ﷺ menanggapinya dengan berkata,
“Wahai Aisyah, begitulah kenyataannya. Sesungguhnya darinyalah aku memperoleh
anak.”
Pada kesempatan
lainnya, Aisyah mengatakan, “Aku sangat cemburu dengan Khadijah karena sering
disebut Rasulullah ﷺ, sampai-sampai aku berkata: Wahai Rasulullah, apa yang kau perbuat
dengan wanita tua yang pipinya kemerah-merahan itu, sementara Allah ﷺ telah menggantikannya dengan wanita
yang lebih baik?”
Rasulullah ﷺ menjawab, “Demi Allah Ta’ala , tak seorang wanita pun lebih
baik darinya. Ia beriman saat semua orang kufur, ia membenarkanku saat manusia
mendustaiku, ia melindungiku saat manusia kejam menganiayaku, dan Allah Ta’ala
telah menganugerahkan anak kepadaku darinya.”
f.
Wanita
yang mendapat julukan Ummul Mukminin paling utama
Khadijah adalah
seorang Ummul Mukminim yaitu ibu orang-orang mukmin yang paling utama. Ia lebih
utama dibanding isteri Rasulullah ﷺ yang lainnya. Ia memperoleh keutamaan ini karena beliau
merupakan wanita pertama yang beriman, yang pertama memeluk Islam, yang pertama
mempercayai ajaran Rasulullah ﷺ, yang berjuang bersama baginda Nabi ﷺ, yang menemani baginda Nabi ﷺ di kala suka maupun duka, yang menenangkan dan meneguhkan hati
dikala baginda menghadapi siksaan dan kezhaliman kaum Quraisy, yang turut
mendampingi baginda dan bersama-sama merasakan beban penderitaan dalam aksi
boikot yang dilancarkan oleh kaum Quraisy kepada beliau dan segenap Bani
Hasyim, dan karena Khadijah, Ummul Mukminin yang melahirkan putra putri bagi baginda
Rasulullah ﷺ kecuali Ibrahim.
N.
Tanda-Tanda
Kemuliaan Khadijah:
1.
Ketika
menikah dengan Nabi ﷺ, beliau belum menikah dengan wanita lain selain Khadijah
2.
Khadijah
melahirkan banyak anak dari beliau. Nabi ﷺ tidak menikah lagi dengan wanita lain selama Khadijah masih
hidup.
3.
Nabi
ﷺ tidak pernah
merasa kesusahan selama Khadijah masih hidup
4.
Khadijah
adalah tipe pasangan yang paling baik, karena dia rela menginfakkan hartanya
demi memuluskan jalan dakwah.
5.
Nabi ﷺ
memperdagangkan hartanya
6.
Allah Ta’ala
memerintahkan Nabi ﷺ agar memberinya kabar gembira berupa istana permata di surga
yang luas, menyejukkan mata dan hati, dan tidak ada kesulitan.
Setelah
penyajian kisah Khadijah binti Khuwailid di atas menjadikan kita sebagai
seorang muslimah seperti tak ada apa-apanya dibandingkan dengan segala
pengorbanan Khadijah dalam membantu dakwah suaminya.
Wahai
Muslimah yang dirahmati Allah! Sesungguhnya istana tersebut adalah jauh lebih
baik dari pada gemerlapnya dunia fana yang telah memperdayakanmu. Dan ini
adalah sebaik-baik khabar gembira dibandingkan dunia dan segala isinya.
Tidakkah kalian ingin mendapatkannya pula?
Ya Allah!
Betapa mulianya Khadijah binti Khuwailid, As-Sayyidah Ath-Thahirah. Seorang istri
yang setia dan tulus, mukminah mujahidah di jalan dien-Nya dengan seluruh apa
yang dimilikinya dari perbendaharaan dunia. Semoga Allah memberikan balasan
yang paling baik kerana jasa-jasanya terhadap Islam dan umat Islam seluruhnya.
Daftar Pustaka:
1.
Al-Qur’anil
Karim
2.
Ar-Rahiq
Al-Makhtum, Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Ummul
Qura (1433 H/ Juli 2012 M )
3.
Mereka Adalah
Para Shahabiyat, Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Musthafa
Abu An-Nashr Asy-Syalabi, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basyra, At-Tibyan (1433 H/
2012 M)
4.
Nisa
Haular-Rasul,As-Sayyid Al-Jamili, Maktabah Tauqifiyyah
5.
35 Shirah
Shahabiyyah, Mahmud Al-Mishri, Al-I’tishom (2006), jilid I
6.
Wanita-Wanita
Mulia di sekitar Nabi ﷺ,
Abu Salsabil Muhammad Abdul Hadi, Pustaka
Arafah (2011)
7.
Dzaujatur
Rasulullah, Amru Yusuf, Darus-Sa’abu,
Riyadh
8.
Fiqhus Sirah, Muhammad
Al-Ghazali
9.
Sirah
Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, jilid I
Oleh: Mufidah Al-FAuziyah
[1] Sayyid Al-Jamili, Nisa’ Haular –Rasul,
hal. 39
[2], Sayyid Al-Jamili, Nisa’
Haular-Rasul, hal. 39
[3] Amru Yusuf, Dzaujatur-Rasulullah,
Darus-Sa’abu, Riyadh
[4] Ibnu Hisyam, I/166
[5] Muhammad Al-Ghazali, Fiqhus Sirah,
hal.52
[6] Syaikh Shafiyyurrahman
Al-Mubarakfury, Ar-Rahiq Al-Makhtum, Penerbit; Ummul Qura’. Hal. 120-121
[7] Abu Salsabil Muhammad Abdul Hadi,
Wanita-Wanita Mulia di sekitar Nabi, Pustaka Arafah, hal. 40-42
[8] Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Mereka
Adalah Para Shahabiyyat, At-Tibyan. Hal. 42-43
[9] Syaikh Shafiyyurrahman
Al-Mubarakfury, Ar-Rahiq Al-Makhtum, Penerbit; Ummul Qura’. Hal. 122
[10] Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Mereka
Adalah Para Shahabiyyat, At-Tibyan. Hal. 43
[11] Syaikh Shafiyyurrahman
Al-Mubarakfury, Ar-Rahiq Al-Makhtum, Penerbit; Ummul Qura’. Hal. 122
[12] Mahmud Al-Mishri, 35 Sirah
Shahabiyah, Pustaka Al-I’tishom, I/24
[13] Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury,
Ar-Rahiq Al-Makhtum, Penerbit; Ummul Qura’. Hal. 131
[14] Ibnu Hisyam, I/235-236. Rahmatun
lil ‘Alamin, I/47 dan fi Zhilalil Qur’an, XXIX/166
[15] Syaikh Shafiyyurrahman
Al-Mubarakfury, Ar-Rahiq Al-Makhtum, Penerbit; Ummul Qura’. Hal. 133-134